Article Detail
Intermezo -Tupai di Kelapa Karto
Seekor tupai melompat-lompat dari dahan ke dahan pada rumpun bambu di pekarangan belakang rumah Karto. Dikibas-kibaskan ekornya, ditengak-tengokkan kepalanya, dijulur-julurkannya lidahnya. Dijuntai-juntaikan kakinya, dan dibelalak-belalakkannya matanya. Di depan rumpun bambu itu, tegak berdiri sebatang pohon kelapa tepat di tengah-tengah pekarangan. Daunnya melambai-lambai diterpa angin yang sepoi-sepoi bertiup sore itu. Dari sela-sela lebatnya daun yang merunduk ke bawah, tampak beberapa buah kelapa dengan kulitnya yang mulai keriput dan mengering. Buah kelapa yang sudah tua memang mengering kulitnya. Bagi si tupai bentuk buah seperti ini tak lagi menarik. Tak lagi membuat tupai tergiur. Tak akan tupai menyeringai memamerkan gigi-giginya yang runcing dan teramat tajam. Terlalu sayang gigi-giginya buat mengoyak buah itu. Kalau pun beberapa kelapa tua tampak bolong-bolong, pasti bolongnya selagi kelapa masih muda. Bukan baru saja, bukan ketika kelapa telah menjadi tua seperti itu. Buat tupai, kelapa-kelapa yang demikian tak berguna lagi. Maka dibiarkannya saja kelapa-kelapa itu terkulai jatuh ke tanah. Kelapa-kelapa yang sudah tua dan mengering itu kini menjadi jatah Karto si empunya pohon.
Sore itu di beranda rumah, di atas balai-balai bambu, Karto terlihat sedang bersantai. Sebuah piring dengan ukuran kecil ada di situ, beberapa potong ubi goreng dan bakwan goreng dengan beberapa cabe muda masih tersisa. Sebuah cangkir berisi kopi hitam tinggal setengahnya saja. Di tangan kanannya tampak sebatang rokok tingwe alias lintingan dewe dipelintir-pelintir, diputar-putar dimainkannya dengan jari-jemarinya yang tampak keriput. Sesekali dihisapnya perlahan, ditariknya nafas panjang, lewat rongga tenggorokan dibawanya ke dalam dada, dalam dan dalam. Ditahannya kemudian dilepasnya dengan perlahan. Dimonyong-monyongkannya mulutnya, dibuatnya lingkaran-lingkaran asap besar dan kecil keluar dari dalam mulutnya. Asap tebal melingkar-lingkar, membubung, melambung, mengudara tinggi dan semakin tinggi. Seperti menerbangkan segala letih lesu Pak Karto yang baru saja dibawanya pulang dari pasar siang tadi.Ubi goreng, bakwan goreng, dan kopi hitam itu dibelinya tadi siang di Pasar Semprong yang letaknya di ujung desa tak jauh dari rumah Karto. Ke pasar itulah setiap hari Karto selalu menjual kelapa hasil panennya. Duit hasil menjual kelapa itu kemudian dibelikan makanan kecil, kopi dan segenggam tembakau. Hanya itu yang dapat ia beli, tak bisa lebih.
Sebenarnya tidak tepat untuk menyebut duit itu sebagai hasil menjual panenan kelapa Pak Karto. Sebab kelapa yang dijualnya tidaklah banyak, hanya dua atau tiga butir saja, tak pernah lebih. Lagi pula, kelapa itu jatuh sendiri bukan dipetik. Sejak kaki kirinya yang sebatas lutut itu, sepuluh tahun yang lalu, tergadaikan dengan sebilah mata gergaji mesin ketika sedang memotong pohon kelapa di pekarangan tetangga sebelah rumah, memanjat pohon kelapa kemudian memetik buahnya tak lagi dapat dikerjakannya. Yang dapat ia lakukan hanyalah memungut satu-satu kelapa yang kebetulan jatuh, mengumpulkan, dan kemudian menjualnya ke pasar. Sejak sembilan tahun yang lalu, sejak istri dan anaknya dibawa kabur oleh duda kaya tetangga desanya, Pak Karto lakukan sendiri pekerjaan itu. Sejak saat itu, hidup,Karto bergantung pada kelapa-kelapa di pekarangannya. Buat Karto yang seorang diri itu, di usianya yang semakin senja, kelapa-kelapa adalah pengharapannya, sumber penghidupannya, yang selalu ditunggu-tunggu di setiap waktu. Isi tidaknya perut Karto tergantung pada kelapa-kelapa itu. Jika ada kelapa jatuh Karto bisa makan. Jika tidak, Karto terpaksa menahan lapar sampai kelapa itu jatuh, kemudian dipungut dan di jual ke pasar utuk ditukar dengan makanan. Pernah Karto menahan lapar satu minggu lantaran kelapa-kelapa itu tak kunjung jatuh.
Dibuangnya puntung rokok ditangan, diteguknya sisa kopi pahit yang tidak lagi panas itu. Diambilnya sebilah tongkat bambu yang tersandar di balai-balai itu dengan tangan kirinya, pada tangan kanan dibawanya piring yang sudah menjadi kosong. Dengan payahnya Karto bangkit berdiri, dengan tertatih ia berjalan pelan. Sebuah tikar kusam di balik dinding dalam rumah yang ia tuju. Tikar itu yang selalu setia menemani Karto melewatkan malam-malamnya. Di ambang pintu, langkah Karto terhenti. Dua kali suara berdentum menahan langkah kakinya. Dua buah kelapa jatuh hampir bersamaan di pekarangan. Suara itu tak asing lagi di telinga Karto. Suara itu adalah pengharapan Karto. Terpikir olehnya dua buah kelapa di pekarangannya telah jatuh. Terbayang olehnya, besok ia bakalan makan. Raut mukanya tampak begitu berseri-seri.
Kembali Karto melangkah. Langkah Karto kali ini tampak bergegas. Tidak ke dalam rumah, tetapi ke arah pekarangan tempat di mana pohon kelapa itu berada. Karto sepertinya tak sabar lagi. Ia ingin segera mencari dan memungut kelapa itu. Karto tak rela, kalau Iyem janda tua tetangganya lebih dulu mengambilnya. Di bawah pohon kelapa langkah Karto terhenti. Pandangan matanya menyapu ke arah kanan dan kiri seperti menyelidik. Seketika mata Karto tertuju pada sebuah kelapa yang setengahnya menancap ke tanah. Buru-buru Karto mendekat. Ia bungkukkan badannya, dipegangnya kelapa itu dengan kedua tangan, digoyang-goyangkan ke kiri kemudian ke kanan, hingga tercabutlah kelapa itu. Betapa kecewa hati Karto, begitu tahu kelapa itu bolong alias cumplung. Separuh harapannya hilang, lepas bersama jatuhnya sang cumplung dari tangannya. Kemudian mata Karto menyisir, mencari kelapa satunya lagi. Tinggal pada kelapa itu harapan Karto tersisa. Pada rumpun bambu yang tak jauh dari tempat ia berdiri, Karto melihat kelapa itu setengah terjepit di antara dua batang bambu. Belum juga mendekat, sebuah lobang sebesar genggaman tangan orang dewasa pada kelapa itu seperti hendak berkata, ”Aku cumplung juga.” Tangan Karto gemetar, tongkat penopang tubuhnya terlepas, Karto jatuh terduduk lemas. Hatinya kecut, pedih dan perih. Sirna sudah harapan beroleh makan esok pagi. Dua kelapa yang jatuh senja itu nyatanya semuanya cumplung.
Sementara di atas sana, seekor tupai melompat dari batang bambu ke arah pohon kelapa. Menari-nari pada beberapa butir kelapa, seperti memilih-milih, butir mana hendak dimakannya malam nanti. Di bawahnya Karto berjalan tertatih. --Ndt--
Comments
-
there are no comments yet
Leave a comment