Article Detail

Kerja Cerdas Tak Harus Kerja Keras

Memasuki ruangan kerja pagi itu, suasananya sangat berbeda sekali dengan hari-hari sebelumnya. Tampak sepi tak ada gelak dan tawa di antara mereka. Mereka tampak di depan komputer sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bahkan aktivitas mengajar pagi itu seperti dinomorduakan. Mereka suntuk berkumpul di sebuah ruang yang biasanya sepi di waktu-waktu pagi begitu.

Inilah suasana yang terlihat di hari-hari terakhir menjelang akreditasi sekolah itu. Akreditasi sekolah, sebuah moment yang teramat penting mungkin sehingga perlu menyita waktu sedemikian rupa. Atau apakah akreditasi identik dengan nafas dan detak jantung sebuah sekolah? Artinya, akreditasi bisa diartikan sebagai suatu saat yang menentukan kelangsungan hidup penyelenggaraan suatu satuan pendidikan. Bisa tidaknya sekolah menyelenggarakan pendidikan tergantungkah pada akreditasi?

Bila demikian, dapat dibayangkan bagaimana kesuntukan dan kesibukan yang seperti itu akan selalu terulang dalam kurun waktu lima tahunan. Mengapa tidak? Sebab mengacu pada peraturan pemerintah yang ada, bahwa akreditasi memang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Terbayang di depan mata, bagaimana kesuntukan itu akan selalu menghantui setiap insan pelaku pendidikan di sekolah.

Melihat situasi seperti pagi itu, rasanya ada sesuatu yang menarik untuk dicerna lebih lanjut. Paling tidak sesuatu yang sangat menggelitik sekali menurut pemikiran pribadi saya. Kemudian sebuah pertanyaan menarik yang mungkin sangat mudah untuk dipertanyakan pastilah demikian. Mengapa kondisi seperti itu harus terjadi? Lalu sebagai pertanyaan lanjutan pasti demikian. Apakah benar memang tidak ada cara lain untuk persiapan akreditasi selain dengan cara yang seperti itu?

Situasi menggelitik dalam persiapan akreditasi yang saya maksud di sini adalah kesan kesibukan yang luar biasa sekaligus cenderung semrawut. Kesibukan dan kesemrawutan itu terlihat jelas pada wajah-wajah pelaku persiapan akreditasi. Kesan kerja keras jelas sekali mereka lakukan seperti kejar target. Mengumpulkan berbagai berkas dan kelengkapan akreditasi yang harus dipenuhi yang jumlahnya sungguh luar biasa dan harus terkumpul dalam waktu yang sangat terbatas. Memang, pada akhirnya target yang ditetapkan pun tercapai dengan kerja keras semua pihak. Tapi, apakah hasil yang dicapai tersebut telah benar-benar maksimal? Setidaknya, apakah hasil tersebut telah merupakan hasil yang benar-benar sesuai dengan yang diharapkan? Jawabnya, pasti tidak! Itu artinya masih ada hasil yang lebih baik lagi yang masih bisa dicapai dengan prinsip kerja yang mungkin lebih baik ketimbang dengan hanya kerja keras itu.

Prinsip kerja yang saya maksud di sini adalah prinsip kerja cerdas. Prinsip kerja yang demikian terkesan tidak menguras banyak energi fisik dan juga pikiran, sebab prinsip kerja cerdas mencoba menyelaraskan antara kemampuan fisik dengan kemampuan berfikir. Menghadapi suatu pekerjaan yang besar sekalipun pekerja yang bisa bekerja dengan cerdas senantiasa berfikir untuk bagaimana bisa menyelesaikan pekerjaan tersebut tanpa harus menguras tenaga ataupun waktu dengan percuma. Sementara hasil kerjanya pun jauh lebih baik ketimbang si pekerja cerdas. Sekedar sebagai pembanding, berikut saya berikan ilustrasi mengenai mereka yang bekerja keras dengan mereka yang bekerja cerdas.

Budi, sebut saja begitu. Seorang guru muda yang sudah hampir 10 tahun mengabdikan dirinya di sekolah itu. Bila sedang tidak mengajar, aktivitasnya tak pernah lepas dari sebuah laptop yang selalu menyala di meja kerjanya. Pak Budi hampir tak pernah menggunakan waktu istirahatnya ataupun jam-jam kosongnya untuk benar-benar beristirahat. Apalagi duduk-duduk santai di luar ruangan guru. Setiap kali, yang saya lihat Pak Budi sepertinya ada-ada saja yang selalu harus dikerjakan. Setidak-tidaknya, itulah kesan yang selalu tampak pada dirinya. Pak Budi selalu sibuk dengan laptopnya di sela-sela jam mengajarnya. Sebuah kerja yang bernilai produktif tinggi tampaknya. Benarkah begitu?

Di sisi yang lain, di luar ruang guru, terlihat Pak Karto sedang duduk-duduk santai di sebuah meja tua di sudut halaman parkir sekolah. Pak Karto memang suka seperti itu. Setiap kali ada waktu istirahat, atau sedang jam sedang kosong tidak mengajar, selalu saja digunakannya untuk duduk-duduk santai sambil ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman yang lain. Sekalipun belum pernah terlihat Pak Karto berlama-lama duduk di ruang guru, kemudian mengerjakan bermacam tugas terkait profesinya sebagai pendidik. Apakah dengan begitu Pak Karto bisa dibilang kurang produktif dalam bekerja?

Jelas dua karakter bekerja yang berbeda bukan? Bila melihat dengan mata telanjang saja, mungkin Anda akan mengatakan bahwa Pak Budi lebih bekerja dengan baik jika dibandingkan dengan Pak Karto. Benarkah demikian? Jawabnya tentu saja belum tentu. Mengapa? Lihat saja kenyataan yang ada. Ketika di saat terakhir dead line suatu pekerjaan harus selesai. Pak Karto selalu saja menggumpulkan apa yang harus dikumpulkannya lebih awal dari pada Pak Budi. Padahal selama ini Pak Budilah yang justru terkesan bekerja dan bekerja terus. Sementara Pak Karto sama sekali tidak terkesan mengerjakan sesuatu di setiap waktu.

Pertanyaan yang mungkin perlu kita camkan barang kali saja. Mengapa bisa sampai terjadi kondisi yang demikian? Apa yang kurang dengan cara kerja Pak Budi? Apa pula yang terjadi dengan cara kerja Pak Karto?  Sudah  barang tentu jawabnya tidak lain dan tidak bukan karena dalam hal ini Pak Budi sebatas bekerja keras saja, sementara Pak Karto lebih bekerja secara cerdas.
 
***
Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment