Article Detail

BELAJAR MENULIS YUK...!

Sudah lebih delapan belas tahun saya menyandang predikat Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sebuah sekolah swasta di ibu kota. Sejak menyandang predikat itu pula, sebenarnya saya sudah punya impian untuk memanfaatkan sisa waktu di sela-sela kesibukan saya mengajar untuk saya gunakan menulis. Harapan saya waktu itu tidaklah muluk-muluk. Sekedar bisa nulis puisi sampai ke cerpen sudahlah cukup. Sebuah impian yang biasa-biasa saja bukan? Impian yang sudah membumi, lebih-lebih untuk orang-orang yang memang berlatar belakang akademis di bidang sastra barangkali. Itulah idealis saya waktu itu. Namun, nyatanya tidaklah mudah buat saya untuk mewujudkan sebuah impian yang seperti itu. Tidak sebagaimana membalikkan kedua telapak tangan ternyata.
 
Faktanya memang, sejak saat itu saya pernah mencoba menulis. Sudah berapa banyak waktu saya habiskan untuk berlama-lama duduk buat sekedar memulai menulis. Tak terhitung lagi, sudah berapa lembar kertas habis untuk menuangkan mimpi-mimpi saya itu. Tapi hasilnya apa “NIHIL” tak satu pun tulisan dapat saya hasilkan. Kertas-kertas bekas coretan itu pun berakhir di tempat sampah atau kalau tidak menjadi barang kiloan belaka. Saya pun mengalami kebuntuan, kemudian dengan mudahnya saya mengatakan tak ada waktu, tak ada ide, dan saya vonis diri saya tidak ada bakat menulis. Lalu, selama dua belas tahun itu juga impian itu seperti terkubur dalam-dalam. Pasrah begitu saja.
 
Ternyata tidaklah selamanya saya dapat mengubur mimpi-mimpi saya itu. Saya terbentur oleh tanggung jawab saya. Tanggung jawab moral sebagai pendidik. Terlebih-lebih ketika saya sedang mengajar di kelas, tak jarang saya harus memberi contoh kepada anak didik saya. Mau tidak mau saya harus mau akhirnya. Suatu kondisi yang tak bisa saya mengelak dari padanya. Ujung-ujungnya, mimpi itu pun seperti menggelitik niatan saya untuk menjadikannya sebuah kenyataan. Perlahan niatan itu muncul kembali dan membimbing saya untuk sedikit demi sedikit keluar dari jurang kebuntuan itu.
 
Beruntung, di awal tahun ini, tanpa sengaja saya dipertemukan dengan seorang teman lama saya melalui jejaring sosial Facebook. Meski hanya di dunia maya saya berkomunikasi, melalui teman saya inilah saya mendapatkan penguatan sekaligus semangat untuk menulis. Awalnya, di FB teman saya ini, saya melihat beberapa tulisannya yang sebagian besar berupa cerpen. Dari hari ke hari kian banyak saja cerpen-cerpen baru yang diposting di Kompasiana. Kebetulan teman saya ini juga seorang Kompasianer. Saya berpikir, produktif sekali orang ini? Lewat sebuah komentar di sebuah posting cerpennya, saya menanyakan hal ini. Tentang kiat-kiat dia dalam menulis sampai bisa seproduktif itu. Lantas, bagaimana penjelasannya?
 
Sungguh suatu penjelasan yang cukup membuat saya tercengang. Penjelasan yang jauh dari apa yang saya bayangkan sebelumnya. Semula, saya berpandangan bahwa untuk menulis saya haruslah menyediakan waktu secara khusus. Kemudian dengan waktu khusus tersebut, saya harus memulai berfikir dan mencari-cari apa yang akan saya tulis. Selanjutnya, ketika sebuah ide sudah saya temukan, saya harus corat-coret terlebih dulu pada sebuah lembar kertas sebagai draf awal untuk kemudian diketik computer, jika memang menurut saya sudah siap menjadi sebuah karya jadi. Atas penjelasan teman saya, saya sadar bahwa ternyata pandangan saya yang seperti ini salah.
 
Rupanya, pandangan saya yang salah itulah menjadi penyebab utama saya selama dua belas tahun ini selalu menemukan kebuntuan’cunthel’ setiap kali ingin memulai menulis. Sebab, menurut teman saya itu, menulis tidak perlu persiapan yang sedemikian itu. Menurut teman saya, yang perlu dilakukan ketika hendak menulis adalah menulis. Ya, menulis, sekali lagi menulis. Tak perlu berlama berfikir tentang apa yang mau ditulis. Tak perlu itu mencoret-coret membuat draf, buang-buang waktu saja. Itu pemborosan namanya, pemborosan waktu, tenaga dan biaya tentu saja. Ingat, ini bukan berarti menulis tanpa dasar tentunya. Jangan sampai Anda salah paham dalam hal ini.
 
Tergerak oleh penjelasan teman tersebut, saya pun merubah pola pikir saya. Saya coba ikuti penjelasan temanku itu. Suatu waktu, ketika keinginan menulis itu datang, saya tak menyia-nyiakannya. Saya mulai melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Segera saya duduk di depan computer, dengan computer tersebut saya mulai menuliskan apa saja yang muncul di pikiran saya saat itu. Kalimat demi kalimat saya biarkan mengalir begitu saja tanpa ada yang harus saya delete. Itulah kali pertama impian saya menulis cerita bisa menjadi kenyataan. Saya tak peduli, apakah itu tulisan menarik atau tidak. Yang saya rasakan ketika itu hanyalah kesenangan batin semata. Sejak saat itu, tanpa saya sadari saya mulai kecanduan untuk menulis. Menulis apa saja yang mungkin bisa saya tulis. Meski sampai sekarang tulisan-tulisan itu baru sebatas untuk konsumsi pribadi dan hanya saya simpan di dalam file di laci meja saya. Jujur saja, saya sendiri tak yakin tulisan-tulisan itu layak atau tidak, menarik atau tidak, untuk dibaca orang banyak. Sekali lagi saya tak pedulikan itu, itu bukan target utama saya. Kalau saja saya tidak mengikuti saran teman tersebut, mungkin satu tulisan pun belum bisa saya buat sampai detik ini.

Masih tetap merujuk pada saran teman saya tersebut, saya disadarkan, bahwa untuk menulis sesungguhnya ketrampilan atau keahlian berbahasa bukanlah hal pertama yang mutlak harus kita punyai. Lebih penting dari itu adalah adanya niatan yang kuat dari dalam diri kita sendiri. Saya yakin niatan yang kuat itu pada akhirnya akan memacu kita untuk berfikir inovatif yang berarti selalu berusaha untuk menggali hal-hal baru sebagai sumber ide penulisan. Sekaligus berfikir kreatif yang berarti selalu berfikir untuk mengolah dan mengembangkan hal-hal baru yang kita temukan itu sehingga menjadi sebuah tulisan yang menarik.

Berpijak dari keyakinan inilah saya mencoba menulis. Tentu saja, membekali diri dengan pengetahuan dan pendapat orang lain yang lebih tahu persis tentang teori-teori menulis, yang bisa didapat dari beragam sumber adalah sesuatu yang tidak dapat saya tinggalkan.


 
Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment