Article Detail

Intermezo - Sabar Bu....!

Menikmati waktu kosong di tengah-tengah kesibukan mengajar, menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di kursi piket. Sesekali tangan membuka-buka buku daftar hadir kelas. Merekap nama-nama siswa yang tidak masuk pada hari itu. Tiba-tiba di kejauhan sana.  Tidak sengaja mataku menatap dan beradu pandang dengan seorang ibu. Sepertinya ibu dari salah satu murid di sekolah ini. Dari raut wajahnya, tampak jelas kegelisahan ada padanya. Gurat-gurat kuat di wajahnya melukiskan kekecewaan yang bercampurkan kemarahan yang terpendam.
 
Tepat di depan meja piket ibu itu berhenti. Kucoba sapa dengan ramah penuh sopan.
"Selamat siang, Bu! Ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat siang, Pak! Bisa saya bertemu dengan Pak Udin, wali kelas 8D?" ibu itu bertanya dengan suaranya yang lemah.
"Oh, bisa-bisa Bu, silakan duduk Bu ! Perkenalkan Bu, saya Pak Udin," seraya kuulurkan tangan untuk memperkenalkan diri.
"Ibu ini siapa ya?"
"Perkenalkan Pak, nama saya Lisa, orang tua dari Lenni kelas 8D,"  Ibu itu mulai berbicara secara perlahan dan tampak begitu sopan.
"Pak, saya bingung dengan perkembangan anak saya akhir-akhir ini. Di rumah jarang sekali belajar. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk bermain-main di depan komputer." Ibu itu mulai membuka pembicaraannya.
"Pernah suatu kali saya lihat hasil ulangan hariannya. Sungguh mengecewakan sekali hasilnya. Ulangan-ulangannya semuanya hampir tidak ada yang beroleh nilai di atas KKM, dan harus remedial, Pak," suara ibu itu semakin tinggi dengan nada yang penuh kemarahan.
"Dan Pak..! Yang membuat saya semakin bingung sekaligus kesal, setiap kali saya nasihati, anak saya ini malah berontak dan melawan. Terus terang Pak, saya selaku orang tuanya menjadi bingung." Ibu itu kemudian terdiam, seperti hendak menunggu tanggapan dariku.
 
"Maaf ya, Bu..! Boleh saya bertanya?" aku mulai membuka suara.
"Silakan, Pak..!"
"Sekali lagi, maaf ya Bu, Ibu punya anak berapa?" Aku mulai dengan pertanyaan ini yang mungkin adalah pertanyaan yang tidak sama sekali diduga oleh ibu tersebut. Nyatanya, ibu itu sempat terbelalak dan baru menjawab pertanyaanku sesaat kemudian.
"Dua, Pak..! Yang pertama sudah lulus kuliah dan tahun ini sudah mulai bekerja di sebuah bank swasta di kota ini." Dia mulai bercerita tentang anak pertamanya. " Dan.., dan yang kedua si Lenni. Saya bingung. Pak, Lenni nyatanya tidak seperti kakaknya."
 
"O... dua ya Bu...!" seolah aku memastikan.
"Betul Pak..!" jawabnya.
"Nah, begini Bu, Ibu punya anak dua saja sudah bingung begitu. Lah saya, 35 Bu..!"
Aku diam sejenak.
"Coba Bu, bayangkan..! Apa saya tidak lebih bingung...!"jelasku dengan nada yang sedikit tinggi.
"Saya juga pusing Bu, jika melihat anak-anak sekarang ini cenderung susah diatur..!”
Sengaja kulemparkan kata-kata ini dengan sedikit berseloroh. Harapanku bisa sedikit menenangkan kegundahan dan kegelisahan sang ibu itu. Dan benar nyatanya, dari sorot matanya kulihat mulai berbinar. Emosinya mulai tertata dan kegelisahan perlahan mereda. Tampak seutas senyum tertahan di sudut-sudut bibirnya.
"Jadi begini Bu. Kita ini orang tua, hendaknya memiliki kesabaran lebih ketika menghadapi anak-anak yang nakal dan susah diatur sekalipun. Niscahya dengan kesabaran ini, secara perlahan anak-anak tentu dapat kita arahkan menjadi lebih baik. Daripada marah-marah menguras energi, belum tentu anak-anak akan menurut. Malah bisa-bisa berontak dan bersikap lebih keras ketimbang yang tua-tua seperti kita ini. Eh, malah jadi menggurui. Tapi begitukan Bu..!" tegasku.

"Hmmm, betul juga ya Pak...! Jadi merepotkan Bapak saja. Kalau begitu, saya permisi Pak. Maaf telah merepotkan Bapak."
"Ah, tidak apa-apa Bu. justru saya yang berterima kasih atas kedatangan Ibu."
Kemudian kami pun berjabat tangan. Ibu itu pun mulai beranjak dari meja piketku dengan langkah ringan tanpa beban rasa amarah lagi.  Dan aku pun kembali merekap absensi kelas yang sempat tertunda. –Ndt--
 
                             
 
Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment